SEKOLAH TINGGI ILMU
HUKUM
GUNUNG JATI
MAKALAH HUKUM
PERJANJIAN
ESEKUTIF 34
OLEH RIZA UMAMI / 21955
DOSEN PENGASUH
SAKWADEDY KUSUMA, SH.MM
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT,
karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan
makalah sebagai salah satu tugas studi mata kulliah hukum perdata mengenai
hukum perjanjian.
Tidak lupa saya sampaikan ucapan terimakasih
kepada semua kalangan yang telah ikut berpartisipasi dan memberikan dukungan
kepada saya. Terutama kepada dosen pengajar yang telah memberikan bekal materi.
Saya sadar dalam pembuatan artikel ini masih banyak kekurangan sehingga
dibutuhkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai kalangan demi
perbaikan dan sekaligus memperbesar manfaat tulisan ini sebagai sebuah
referensi pembelajaran.
Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca umumnya
dan bagi saya khususnya. Aamiin
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Perjanjian kerja sebagai sarana pendahulu
sebelum berlangsungnya hubungan kerja. Hubungan kerja adalah adalah hubungan
antara pekerja dengan pengusaha/ perusahaan/ pemberi kerja yang terjadi setelah
adanya perjanjian kerja atau berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah dan perintah.
Oleh karena itu, hubungan kerja merupakan
hubungan hukum antara pekerja dengan pemberi kerja yang terikat dengan adanya
perjanjian kerja.
Hubungan kerja terjadi setelah adanya
perjanjian kerja antara perusahaan denga pekerja. Pekerja adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun itu.
Perjanjian kerja yaitu perjanjian antara
pekerja dengan perusahaan yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
para pihak, perjanjian kerja bisa dibuat secara tertulis maka harus dibuat
sesua peraturan perundang-undangan yang berlaku saat itu.
Landasan konstitusional yang mengatur
ketenagakerjaan telah di tuangkan pada pembukan dan batang tubuh Undang-Undang
Dasar 1945. Perihal isi ketentuan dalam batang tubuh yang ada relevansinya
dengan masalah ketenagakerjaan, tertera dalam pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan peghidupan yang layak
bagi kemanusiaan”.
Dialam perjanjian kerja di letakan segala hak
dan kewajiban secara timbal balik antara perusahaan dan pekerja. Dengan
demikian kedua belah pihak dalam melaksanakan hubungan kerja telah terikat pada
apa yang mereka sepakati dalam perjanjian kerja maupun peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat itu.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan pe[rjanjian kerja?
2. Apa ketentuan hukum perjanjian kerja?
3. Apa saja yang menjadi unsur-unsur dalam suatu
perjanjian kerja?
4. Apa saja kewajiban pihak yang terlibat dalam
suatu perjanjan kerja?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja dalam bahasa Belanda
disebut Arbeidsoverenkoms, yang artinya perjanjian kerja. Kemudian dalam
pasal 1601 a KUHPerdata secara khusu mengidentifikasikan mengenai perjanjian
kerja. “perjanjian kerja adalah
perjanjian dimana pihak yang satu si buruh mengikatkan dirinya untuk dibawah
perintahnya pihak lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan
pekerjaan dengan menerima upah”.
Dalam
Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003,
menyatakan “perjanjian kerja adalah
perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
Menurut pendapat para ahli:
Menurut
Sudikno Mertokusumo, perjanjian
adalah subjek hokum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hokum. Pasal 1313 KUHPerdata mengidentifikasian perjanjian
sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih lainnya.
A.Ridwanhalim,
S.H dalam bukunya Sari Hukum Perburuhan Aktual, menyatakan pengertian perjanjian kerja
adalah suatu perjanjian yang diadakan antara majikan tertentu dan karyawan,
yang umumnya berkenaan dengan persyaratan yang secara timbal balik harus di
penuhi oleh kedua pihak.
Wiwihosoedjono,
S.H dalam bukunya hokum perjanjian kerja,
menyatakan bahwa pengertian perjanjian kerja ada;lah hubungan antara seorang
yang bertindak sebagai perkerja atau buruh dengan seseorang yang bertindak
sebagai majikan.
Dari pengetian-pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian terdapat dua pihak, dimana hanya satu
pihak yang memberikan perintah sedangkan pihak lain menjalankan perintah
tersebut dengan mendapatkan upah sesuai dengan yang sudah di sepakati bersama.
Kedudukan yang tidak sama ini disebut denga subordinasi.
2.2
Ketentuan Hukum perjanjian Kerja
Suatu perjanjian yang telah memenuhi
syarat-syarat tertentu bias dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah dan
sebagai aikbatnya perjanjian akan mengikat sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian diakui
oleh undang-undang (legally concluded
contract) haruslah sesuai dengan syara-syarat yang telah ditentukan oleh
undang-undang yang berlaku. sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata.
Ketentuan ini uga tertuang dalam pasal 52 ayat 1 UU No 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar:
1. Sepakat kedua belah pihak;
2. Kemampuan atau kecakapan untuk melakukan
perbuatan hokum;
3. Adanya pekerja yang diperjanjikan;
4. Pekerja yang di perjanjikan tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam suatu perjanjian terdapat beberapa azas,
yaitu:
a. Azas
kebebasan berkontrak atau open system (freedom of contract).
Azas utama dalam perjanjian adalah azas
keterbukaan (open system),maksudnya adalah setiap orang bebas melakukan
perjanjian apa saja
dengan siapa saja. Dalam perjanjian kerja azas
kebebasan berkontrak maupun azas yang utama.
b.
Azas konsensual atau azas kekuasaan bersepakat
Maksud dari azas ini adalah bahwa perjanjian
itu ada sejak tercapainya kata sepakat, antara pihak yang mengadakan
perjanjian. Artinya yang paling utama
adalah terpenuhinya kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian.
c.
Azas kelengkapan atau optimal system
Maksud Azas ini adalah apabila para pihak yang
mengadakan perjanjian, berkeinginan lain, mereka menyingkirkan pasal-pasal yang
ada pada undang-undang. Akan tetapi jika secara tegas ditentukan di dalam suatu
perjanjian, maka ketentuan pada undang-undanglah yang dinyatakan berlaku.
2.3
Unsur-Unsur Dalam Perjanjian Kerja
Berdasarkan penjelasan pengertian tentang
perjanjian kerja yang dijelaskan sebelumnya dapat ditentukan unsur-unsur dari
perjanjian kerja yaitu:
a.
Adanya unsur work atau pekerjaan.
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada
pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian), pekerja tersebut haruslah
dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh
orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHPerdata pasal 1603 a yang berbunyi :
“Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya :
hanya dengan seijin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya”. Sifat
pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan
dengan keterampilan atau keahliannya,maka menurut hukum jika pekerja meninggal
dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.
b.
Adanya unsur perintah (Commend)
Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan
kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan haruslah tunduk
pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan.
Disinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya. misalnya hubungan
antara dokter dengan pasien, pengacara dan klien. Hubungan tersebut bukan
merupakan hubungan kerja, karena dokter dan pengacara tidak tunduk pada
perintah pasien dan klien.
c.
Unsur waktu (Time)
Bahwa dalam melakukan hubungan kerja tersebut,
haruslah dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian
kerja atau perundang-undangan.
d.
Unsur upah (pay)
Upah maksudnya adalah imbalan prestasi yang
wajib dibayar oleh majikan untuk pekerjaan itu yang dilakukan oleh pekerja.
Jika pekerja diharuskan memenuhi prestasinya melakukan pekerjaan di bawah perintah
orang lain (majikan / pengusaha), maka pihak pemberi kerja wajib pula memenuhi
prestasinya, berupa pembayaran atas upah. Upah merupakan hubungan kontraktual
antara penerima kerja dan pemberi kerja. Pemberian majikan yang tidak wajib
kepada pekerja tidak dikategorikan sebagai upah. Lazimnya pembayaran upah
diberikan dalam bentuk uang. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan pemberian
upah dalam bentuk barang. Hubungan antara pihak-pihak dalam ketenagakerjaan
tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada para pihak (pekera dan perusahaan),
apalagi dalam hal terjadinya permasalahan dalalm hubunga kerja. Tujuannya
adalah untuk meciptakan keadilah social di bidang ketenagakerjaan. Karena dapat
dipastikan pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai pihak yang lemah (homo
homini lupus). Ata dasar inilah segalanya perlu dilibatkan dalam undang-undang
yang berlaku pada saat ini.
2.4 Bentuk
dan Jangka Waktu Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk
lisan dan/atau tertulis (Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang No 13 Tahun 2003). Secara
normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak,
sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu dalam proses pembuktian
Dalam pasal 14 undang-undang No. 25 tahun 197 tentang ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat tertulis sekurang-kurangnya
memuat:
a) Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b) Nama, jenis kelamin, umur, dan alamt
pekerja/buruh;
c) Jabatan atau jenis pekerjaan;
d) Tempat Pekerjaan;
e) Besarnya Upah dan Cara Pembayarannya;
f) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan
kewajiban pengusaha
dan pekerja/buruh
g) Mulai dan jangka waktu berlakunya melakukan
perjanjian kerja;
h) Tempat, tanggal perjanjian kerja dibuat.
i) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian
kerja
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu
tertentu harus dibuat secara tertulis. Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin
atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya
kontrak kerja. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak boleh mensyaratkan
adanya masa percobaan. Masa percobaan adalah masa atau waktu untuk menilai
kinerja dan kesungguhan, keahlian seorang pekerja. Lama percobaan adalah 3 (tiga)
bulan, dalam masa percobaan pengusaha dapat mengakhiri hubungan kerja secara sepihak
(tanpa izin dari pejabat yang berwenang). Ketentuan yang tidak membolehkan
adanya masa percobaan dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu karena
perjanjian kerja berlangsung relative singkat. Dalam masa percobaan ini
pengusaha dilarang membayar upah dibawah upah minimum yang berlaku.
2.5
Kewajiban Pihak-Pihak dalam Perjanjian Kerja
Hak dan kewajiban antara pihak yang satu
dengan pihak yang lainnya merupakan suatu kebalikan, jika disatu pihak
merupakan hak maka dipihak lain adalah sebuah kewajiban.
a.
Kewajiban-kewajiban pihak pekerja/Buruh
Dalam KUHPerdata ketentuan mengenai kewajiban
buruh/pekerja diatur dalam pasal 1603, 1203 a, 1603 b, dan 1603 c KUHPerdata yang
pada intinya dari kewajiban-kewajiban pihak pekerja, yaitu:
- Pekerja wajib melakukan pekerjaannya,
melakukan pekerjaan adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus
dilakukan sendiri, meskipun demikian dengan seizin majikan dapat diwakilkan.
Hal ini mengingat bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi
sifatnya karena berkaitan dengan masalah keterampilan atau keahlian.
- Pekerja wajib menaati peraturan dan petunjuk
majikan / pengusaha, aturan perusahaan sehingga menjadi lebih jelas.
- Kewajiban membayar ganti rugi dan denda,
jika pekerja melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan baik karena
kesengajaan /kelalaian maka sesuai dengan prinsip hukum wajib membayar ganti rugi.
Ada Azas yang menyatakan perbuatan melanggar hukum dapat menimbulkan ganti rugi
(Azas demnum in iura datum)
b. Kewajiban-kewajiban
majikan / pengusaha
Berikut adalah kewajiban-kewajiban
majikan/pengusaha, dalam hukum ketenagakerjaan :
- Kewajiban membayar upah.
Kewajiban yang utama adalah pembayaran upah
sebagai akibat langsung pelaksanaan perjanjian oleh pekerja. Pembayaran upah hrus
dilakukan tepat waktu. Pembayaran upah diatur pula jika si pekerja berhalangan
karena alasan tertentu misalnya alasan sakit, menjalankan cuti, melakukan tugas
negara dan lain sebagainya.
- Kewajiban untuk memberikan istirahat/cuti.
Pihak majikan atau pengusaha diwajibkan untuk
memberikan istirahat kepada pekerja. Seperti istirahat antara jam kerja selama
4 jam terus menerus dan waktu tersebut tidak termasuk jam kerja. Selain itu
pengusaha juga berkewajiban untuk meberikan cuti tahunan kepada pekerja secara
teratur. Hak atas cuti ini penting,
tujuannya untuk menghilangkan kejenuhan
pekerja dalam melakukan pekerjaan. Dengan demikian, diharapkan gairah kerja
akan tetap stabil. Cuti tahunan yang lamanya 12 hari kerja. Selain itu pekerja juga
berhak atas cuti panjang selama 2 bulan setelah bekerja terus-menerus selama 6
tahun pada suatu perusahaan (Pasal 79 ayat 2 Undang-Undang No 13 Tahun 2003).
- Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan.
Majikan wajib mengurus perawatan/pengobatan
bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan (Pasal 1602x KUHPerdata). Dalam
perkembangan hukum ketenagakerjaan, kewajiban ini tidak hanya terbatas bagi
pekerja yang tidak bertempat tinggal dirumah majikan. Perlindungan bagi tenaga
kerja yang sakit, kecelakaan, kematian telah dijamin melalui perlindungan
Jamsostek sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Terhadap Tenaga Kerja (Jamsostek).
- Kewajiban memberikan surat keterangan
Kewajiban ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1602
a KUHPerdata yang menentukan bahwa majikan/pengusaha wajib memberikan surat
keterangan yang diberi tanggal dan dibubuhi tanda tangan. Dalam surat pekerjaan
yang dilakukan, lamanya hubungan kerja (masa kerja) surat keterngan itu juga diberikan
meskipun inisiatif pemutusan hubungan kerja datangnya dari pihak pekerja surat keterangan
tersebut sangat penting artinya sebagai bekal pekerja dalam mencari pekerjaan
baru, sehingga ia diperlakukan sesuai dengan pengalaman kerjanya.
- Kewajiban majikan untuk memberlakukan sama
antara pekerja pria
dan pekerja wanita.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
perjanjian kerja adalah perjanjian antara
pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat
kerja, hak dan kewajiban para pihak, dimana dalam perjanjian kerja hanya satu
yang memberikan perintah sedangkan pihak yang lain menjalankan perintah
tersebut dengan mendapatkan upah.
Dalam hukum perjanjian kerja juga tidak boleh
adanya suatu paksaan antara kedua belah pihak baik perusahaan/ yang memberi kerja
dengan pekerja karena sudah diatur dalam tanda tangan perjanjian kerja.
Tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk
syahnya suatu perjanjian menutur KUHPerdata nomor 1320:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecapakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Dalam perjanjian kerja harus ada kewajiban yang
harus dijalankan dari masinng-masing pihak yang terikat yaitu kewajiban antara
pihak kerja san kewajiban majikan/penguasa/perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Wetboek, Bulgerik. KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA https://www.academia.edu/35463914/MAKALAH_Hukum_Perjanjian.docx
2.
http://kumpulanmakalahkuliahkuliah.blogspot.com/2017/11/hukum-perjanjian-makalah-aspek-hukum.html
6.
Abdulkadir, Muhammad.
1980. Hukum Perjanjian
7.
Djumadi, S.H., M.
Hum.2004. Perjanjian Kerja
8.
Husni Lalu, S.H.,
Hum.2000. Perngantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
9.
Subekti R.1995. Aneka Perjanjian
10.
Subekti R. 2004. Kitab Undang-Undang Hukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar