Kamis, 21 Mei 2020

Struktur sosial ilmu hukum

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM GUNUNG JATI




MATA UJIAN  STRUKTUR SOSIAL
DOSEN YUSMEDI
OLEH :RIZA UMAMI
EKSEKUTIF 34







Tugas: Perkuliahan 6
1. Jelaskan perbedaan kaidah sosial dengan kaidah hukum ?dan sebutkan contohnya ?
2. Jelaskan pengaruh kedudukan dengan peranan seseorang terhadap hukum?

PEMBAHASAN


1. Jelaskan perbedaan kaidah sosial dengan kaidah hukum ? dansebutkan contohnya ?

Kaidah Sosial
Kaidah sosial seringkali diberi nama lain norma sosial. Kaidah sosial ini terdiri dari 2 unsur kata, “Kaidah” dan “Sosial”.Kaidah berarti aturan atau tata tertib, sedangkan pengertian sosial adalah masyarakat. Secara singkat pengertian kaidah sosial adalah aturan-aturan yang ada dalam masyarakat. Selengkapnya, baca; Pengertian Masyarakat, Unsur, Syarat, dan Bentuknya
• Pengertian Kaidah Sosial
Pengertian kaidah sosial adalah berbagai unsur yang baik dan benar, di atas unsur-unsur lain yang dianggap salah atau buruk.Unsur-unsur akan bersifat lebih berpengaruh tergantung pada mentalitas individu yang menerima. Artinya, sampai sejauh mana individu tersebut mampu menyaring unsur-unsur luar yang diterimanya melalui proses sosialisasi.
Pengertian Kaidah Sosial Menurut Para Ahli
Adapun definisi kaidah sosial menurut para ahli, antara lain adalah sebagai berikut;
Purnadi Purbacaraka
Pengertian kaedah sosial adalah pedoman hidup yang berlaku dalam masyarakat, sebagai salah satu fungsi mengontrol penyimpangan sosial, masyarakat yang tindak dalam menjalani aturan ini akan diberikan saksi, baik secara tertulis ataupun saksi sosial.
Soerjono Soekanto
Definisi kaidah sosial adalah salah satu faktor pengontrolan perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang memiliki pokok-pokok (intisari) aturan-aturan umum sehingga berjalannya dapat mengindari dinamika kelompok sosial.
Dari penjelasan mengenai kaidah sosial di atas, dapat disimpulkan bahwa kaidah sosial adalah aturan atau tata-tertib dalam masyarakat yang dipergunakan sebagai pedoman dalam mengatasi masalah-masalah sosial, mengintral penyimpangan sosial, serta fenomena sosial yang melanggar dari keteraturan sosial yang ada.
Jenis Kaidah Sosial
Adapun macam-macam kaidah sosial, antara lain adalah sebagai berikut;
1. Kaidah Hukum
2. Kaidah Asusila
3. Kaidah Agama
4. Kaidah Kesopanan
Penjelasan mengenai jenis kaidah sosial di atas serta contohnya, antara lain sebagai berikut;
Contoh Kaidah Sosial
Berbegai contoh yang dapat dikemukakan dalam kaidah sosial, antara lain sebagai berikut;
Kaidah Hukum
Hukum menjadi salah satu unsur pokok yang dipergunakan dalam mengatur kehidupan manusia, hukum sendiri menjadi pembahasan yang cukup signifikan pengeruhnya dibandingkan dengan kaidah sosial lainnya, hal ini lantaran dengan hukum suatu negara atau daerah akan aman dari pentimpangan sosial, seperti halnya pertikaian. Selengkapnya, baca; Pengertian Pertikaian, Bentuk, dan Contohnya
Contoh dalam kaidah hukum sendiri yang ada di Indonesia adalah Pancasila. Pancasila sebagai salah satu idiologi yang menjadi sumber hukum bagi masyarakat Indonesia secara umum, penerapan Pancasila secara utuh merupakan salah satu hal yang mutlak di lakukan.
Kaidah Asusila
Kaidah asusila berhubungan erat dengan bentuk prilaku keseharian yang dilakukan oleh setiap manusia, kaidah ini dianggap paling tua dibandingkan dengan kaidah lainnya.Asusila menjadi nilai pokok yang terus dikembangkan dalam masyarakat.
Contoh yang termasuk dalam kaidah asusila ini misalnya saja adalah berbuat jujur yang memiliki pengaruh besar dalam kepercayaan yang diberikan manusia. Jujur menjadi pedoman hidup yang bisa memberikan gambaran secara tuntas mengenai bentuk prilaku yang baik.
Kaidah Kesopanan
Kaidah sosial dalam bentuk lain, adalah kesopanan. Pengertian kaidah ini adalah aturan hidup manusia yang berlaku di masyarakat. Aturan ini memiliki ciri khas tidak tertulis dan bersifat nonformal, meskipun demikian  bagi masyarakat yang melanggar akan diberikan saksi, dengan saksi yang bersifat sosial.
Contoh yang bisa dikemukakan dalam kaidah kesopanan ini misalnya saja adanya pemuda yang harus menghormati orang tua. Sikap ini setidaknya dimiliki setiap manusia, khususnya jika ia ingin dianggap di lingkungannya. Prilaku yang diberikan misalnya dengan menundukan tubuh saat melewati orangtua, atau bersalaman sekalis mencium tangan pada saat bertemu dengan orang yang lebih tua.
Kaidah Agama
Terkahir, yang menjadi bagian daripada kaidah sosial adalah agama. Pengertian kaidah agama ini berhubungan erat dengan tingkat kepercayaan yang harus dimiliki oleh setiap manusia, kepercayaan berhubungan dengan rohani dan tidak bisa ditentukan nilainya. Meskipun demkian dalam sudut tertentu manusia penting untuk memiliki kaidah agama ini.
Contoh mengenai kaidah agama, yang bisa diberikan misalnya saja dilarang mengetakan “Ah” saat disuruh orang tua. Aturan yang bisa dijalanan dengan berpedoman pada Al-Qur’an bagi umat Islam, pada intinya apa yang menjadi pedoman pada setiap agama, denga “Kitab Sucinya” adalah bagian daripada kaidah agama dalam kaidah sosial.
Fungsi Kaidah Sosial
Fungsi penting yang bisa diberikan dalam berlakukanya kaidah sosial, antara lain;
1. Menjaga Konflik Sosial dalam Masyarakat
2. Kaidah sosial mampu mengontrol atau meminimalisir penyimpangan sosial
3. Memberikan ketenangan serta keteraman hidup dalam masyarakat
4. Memberikan pedoman bagi masyaraka

• Pengertian Kaidah Hukum

Kaidah hukum bersal dari dua Kata, yakni: Kaidah dan hukum. Kaidah berarti perumusan dari asas-asas yang menjadi hukum, antara yang pasti, patokan, dalil dalam ilmu pasti. Sedang hukum sendiri berarti peraturan yang dibuat dan disepkati baik secara tertulis meupun tidak tertulis, peraturan, undang-undang yang mengikat prilaku setiap masyarakat tetentu. Dari sini dapt di kemukakan bahwa keberlakuan tingkah laku didalm masyarakat. Kaidah hukum merupakan ketentuan tentang prilaku. Pada hakikatnya apa yang dinamakan kaidah adalah nilai karena berisi apa yang “seyogyanya” harus dilakukan. Sehingga harus dibedakan dari peraturan konkrir yang dapat dilihat dalam bentuk kalimat-kalimat. Kaidah hukum dapat berubah sementara undang-undang nya (Peraturan konkritnya) tetap (lihat ps-1365 Bw).
Agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dengan aman tentram dan damai tanpa gangguna, maka bagi setiap manusia perlu adanya suatu tata (orde = ordnung). Tata itu berwujud aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi segala tingkah manusia dalm pergaulan hidup, sehingga kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Tata itu lazim disebut KAIDAH (berasal dari bahsa Arab) atau Norma (berasal dari bahasa latin) atau UKURAN-UKURAN.
Ditinjau dari segi isinya kaidah hukum dapat dibagi tiga, yaitu:
a.       Kaidah hukum yang berarti perintah, yang mau tidak mau harus di ja;ankan atau di taati seperti misalnya ketentuan dalam pasal 1 UU no.1 tahun 1947 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membenmtuk keluarga yang berbahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa.
b.      Kaidah hukum yang berisi larangan , seperti yang tercantum dalam pasal 8 UU no.1 tahun 1974 mengenai larangan perkawinan antara dua orang laki-laki dan perempuan dalam keadaan tertuentu.

Apakah Kaidah Hukum Tidak Termasuk Kaedah Sosial?
Jika merujuk pada pandangan Ishaq (2008:29), berdasarkan ruang lingkup pengaturannya, Jenis kaedah dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu :
1. Kaedah dengan aspek kehidupan pribadi, di bagi atas :
kaedah kepercayaan atau agama;
kaedah kesusilaan.
2. Kaedah dengan aspek kehidupan antar pribadi yang di bagi atas :
kaedah sopan santun atau adat;
kaedah hukum.
Kaedah tersebut merupakan kaedah sosial, karena pada hakikatnya merumuskan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap tindak yang seyogyanya dilakukan dalam masyarakat.Dengan demikian, kaedah hukum merupakan bagian dari kaedah sosial.
Apa Yang Membedakan Kaedah Hukum Dengan Kaidah Sosial Lainnya?
Dalam hal ini, yang disebut kaedah sosial lainnya adalah kaedah kepercayaan/agama, kaedah kesusilaan dan kaedah sopan santun/adat. Menurut Ishaq (Ibid : 35), perbedaan antara kaedah hukum dengan kaedah sosial lainnya dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, yaitu :
dari segi tujuan kaedah hukum bertujuan untuk menciptakan tata tertib masyarakat dan memberi perlindungan terhadap manusia beserta kepentingannya. Kaedah agama, kaedah kesusilaan bertujuan memperbaiki pribadi manusia agar menjadi manusia baik. Sedangkan kaedah kesopanan bertujuan untuk menertibkan masyarakat agar tidak ada korban.
1. Dari Segi Isi
Kaedah hukum memberikan hak dan kewajiban (atributif dan normatif). Mengatur tingkah laku dan perbuatan lahir manusiadi dalam hukum akan dirasakan puas kalau perbuatan manusia itu sudah sudah sesuai dengan peraturan hukum. Kaedah agama, kaedah kesusilaan hanya memberikan kewajiban saja (normatif), dan berisi aturan yang ditujukan kepada sikap batin manusia. Kaedah kesopanan hanya memberikan kewajiban saja, yang isi aturannya ditujukan kepada sikap lahir manusia.
2. Dari Segi Asal Usul Sanksinya
Kaedah hukum asal usul sanksinya berasal dari luar dan dipaksakan oleh kekuasaan dari luar diri manusia (heteronom), yaitu alat perlengkapan negara. Kaedah agama asal usul sanksinya juga berasal dari luar dan dipaksakan oleh kekuatan dari luar diri manusia (heteronom), yaitu Tuhan. Kaedah kesusilaan asal-usul sanksinya berasal dari diri sendiri dan dipaksakan oleh suara hati masing-masing pelanggarnya (otonom). Kaedah kesopanan asal usul sanksinya juga berasal dari kekuasaan luar yang memaksa, yaitu masyarakat.
3. Dari Segi Sanksi
Kaedah hukum sanksinya dipaksakan oleh masyarakat secara resmi. Kaedah agama sanksinya dipaksakan oleh Tuhan. Kaedah kesusilaan sanksinya dipaksakan oleh diri sendiri. Kaedah kesopanan sanksinya dipaksakan oleh masyarakat secara tidak resmi.
4. Dari Segi Sasarannya
Kaedah hukum dan kaedah kesopanan sasaran aturanya ditujukan kepada perbuatan konkret (lahirian). Kaedah agama dan kaedah kesusilaan sasaran aturannya ditujukan kepada sikap batin.

 

2.Jelaskan pengaruh kedudukan dengan peranan seseorang terhadap hukum?

1. Peran Hukum dalam Proses Perubahan Sosial
Peran hukum dalam proses perubahan sosial menyangkut fungsi dan peranan pengadilan dalam menangani kasus-kasus bermasalah, adjusment terhadap perubahan-perubahan sosial dnpenanganan suatu kasus. Dalam proses bekerjanya hukum, setiap anggota masyarakat dipandang, sebagai adresat hukum. Chamblis dan Seidman menyebut adresat hukum itu sebagai “pemegang peran” (role occupant). Sebagai pemegang peran iadiharapkan oleh hukum untuk memenuhi harapanharapan tertentu sebagaimana dicantumkan di dalam peraturan-peraturan. Dengan demikian, anggota masyarakat diharapkan untuk memenuhi peran yang tertulis di situ (role expectation).
Oleh karena pengaruh berbagai faktor yang bekerja atas diri orang tersebut sebagai pemegang peran, maka dapat saja terjadi suatu penyimpangan antara peran yang diharapkan dan peran yang dilakukan. Itu artinya, telah terjadi ketidakcocokan antara isi peraturan dan tingkah laku warga masyarakat. Di sini, ada kemungkinan besar bahwa anggota masyarakat tersebut tetap bertingkah laku sesuai dengan nilai budaya yang telah lama dikenal dan dihayatinya. Sudah cukup banyak penelitian yang menemukan bahwa kesadaran hukum masyarakat terhadap peraturanperaturan hukum yang dibuat oleh negara masih jauh dari harapan. Perilaku yang bertentangan dengan hukum itu lebih disebabkan oleh sikap moral (mores) masyarakat yang tidak sejalan dengan isi peraturan hukum tersebut. Menurut Sumner, mores atau sikap moral masyarakat itu selalu berada dalam posisi mendahului dan menjadi penentu bekerjanya hukum. Sulit bagi kita untuk mengubah mores masyarakat secara besar-besaran dan mendadak, apa pun rencana dan alat yang dipakai. Mores memang dapat diubah, tetapi dengan caraperlahan-lahan dan dengan suatu usaha yang terus-menerus serta bervariasi.
Ini berarti, kekuatan utama kontrol sosial bukan terletak pada adanya pasal-pasal peraturan hukum yang dibuat secara formal dan tertulis. Walaupun, tidak dapat dipungkiri bahwa bagaimanapun juga peraturan-peraturan hukum formal dan tertulis itu masih bisa memberikan pengarahan, pengaruh dan efek-efek kekuatan pada pelaksanaannya. Sekalipun ada unsur-unsur baru dalam peraturan hukum, namun beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa anggota masyarakat yang dikatakan sebagai pemegang peran tetap berpola tingkah laku yang sesuai dengan kesadaran hukumnya sendiri. Apa yang menjadi cita-cita pembuat undang-undang itu rupanya belum terwujud. Lain halnya kalau peraturan hukum itu hanya bersifat memperkokoh nilai-nilai yang telah ada dan sudah diresapi oleh anggota masyarakatnya. Karakteristik peraturan hukum seperti itu jelas tidak akan menimbulkan masalah kesadaran hukum masyarakat, karena sesungguhnya aspek ini sudah sejak semula menyatu dengan peraturan-peraturan hukum itu sendiri.
Peran hukum dalam proses perubahan sosial, sebagaiman telah dijelaskan, akhirnya terbagi menjadi dua karakteristik. Pertama, hukum berfungsi sebagai alat perubah (bersifat aktif) atau sering disebut sebagai law as a tool of social engineering. Kedua, hukum berfungsi sebagai wadah perubahan (bersifat pasif) yakni masyarakat berubah terlebih dahulu, baru hukum datang mengesahkan perubahan itu. Bagaimanapun caranya, tetap peran hukum menentukan bagaimana arah perubahan sosial tersebut menuju. Saat ini hukum bukan hanya dipakai untuk mempertandingkan pola-pola hubungan serta kaidah-kaidah yang telah ada. Hukum yang diterima sebagai konsep yang modern memiliki fungsi untuk melakukan suatu perubahan sosial. Bahkan, lebih dari itu hukum dipergunakan untuk menyalurkan hasil-hasil keputusan politik. Hukum bukan lagi mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang telah ada, tetapi juga berorientasi kepada tujuan-tujuan yang diinginkan, yaitu menciptakan pola-pola perilaku yang baru. Di dalam menjalankan fungsinya, hukum senantiasa berhadapan dengan nilai-nilai maupun pola-pola perilaku yang telah mapan dalam masyarakat.
Hukum senantiasa dibatasi oleh situasi atau lingkungan di mana ia berada, sehingga tidak heran kalau terjadi ketidak-cocokan antara apa yang seharusnya (das sollen) dengan apa yang senyatanya (das sein). Dengan perkataan lain, muncul diskrepansi antara law in the books dan law in action. Oleh sebab itu Chamblis dan Seidman dalam mengamati keadaan yang demikian itu menyebutkan The myth of the operation of the law to given the lie daily.
Selanjutnya, apabila kita melihat penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan, maka proses itu selalu melibatkan para pembuat dan pelaksana hukum, serta juga masyarakatnya. Masing-masing komponen. ingin mengembangkan nilai-nilai yang ada di lingkungan yang sarat dengan pengaruh faktor-faktor non-hukum lainnya. Apabila kita hendak melihat hukum sebagai suatu sistem sebagaimana telah diuraikan terdahulu, maka penegakan hukum sebagai suatu proses akan melibatkan berbagai macam komponen yang saling berhubungan, dan bahkan ada yang memiliki tingkat ketergantungan yang cukup erat. Akibatnya, ketiadaan salah satu komponen dapat menyebabkan inefficient maupun useless sehingga tujuan hukum yang dicita-citakan itu sulit terwujud.
Bisa disimpulkan, peran hukum (undang-undang) dalam perubahan sosial bisa dikatakan tidak bebas nilai. Setiap undang-undang sekali dikeluarkan akan berubah baik melalui perubahan formal maupun melalui cara-cara yang ditempuh birokrasi ketika bertindak. Ia berubah disebabkan oleh adanya perubahan kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain-lain yang melingkupinya. Perubahaan itupun terutama disebabkan oleh pemegang peran terhadap pembuat undang-undang dan terhadap birokrasi penegakan, dan demikian pula sebaliknya. Setiap peraturan hukum selalu menghendaki bagaimana seseorang itu diharapkan bertindak. Dan bagan tersebut menunjukkan bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya ditentukan oleh hukum, melainkan juga oleh kekuatan-kekuatan lainnya yang muncul dalam lingkungan. Gambaran di muka memberikan suatu pemahaman yang lebih baik tentang hukum dan proses bekerjanya yang tidak bebas nilai.


DAFTAR REFERENSI
• Chainur Arrasjid. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Cet. 2. Sinar Grafika, Jakarta.
• Ishaq. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Cet. I. Sinar Grafika, Jakarta.
• R. Soeroso. 2005. Pengantar Ilmu Hukum. Cet. 7. Sinar Grafika, Jakarta.
• Surojo Wignjodipuro. 1983. Pengantar Ilmu Hukum. Cet. 5. PT Gunung Agung, Jakarta.
• I. B. N. DEDI ANDI WINATA. alumnus Fakultas Hukum Universitas Udayana
• Veronica olson. Berbagai materi tentang dunia perkuliahaan hukum
• Makalah Ilmu Hukum tentang Kaidah Hukum dan Kaidah Sosial
Disusun Oleh Muazzin, S.H.
• Kaidah Hukum Dan Kaidah Sosial Teguh Rizaldi Teguh Rizaldi


• HUKUM, STRATIFIKASI SOSIAL, DAN KEKUASAAN. M RIDHO

Sosiologi hukum

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM GUNUNG JATI



MATA UJIANSOSIOLOGI HUKUM
DOSENYUSMEDI
OLEH :RIZA UMAMI
EKSEKUTIF 34 





KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia- Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan artikel sebagai salah satu tugas studi kasus Mata Kuliah Sosiologi Hukum. 
Tidak lupa saya sampaikan ucapan terima kasih kepada semua kalangan yang telah berpartisipasi dan memberikan bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Terutama saya ucapkan terima kasih kepada dosen pengajar yang telah memberikan bekal materi. Saya sadar dalam pembuatan artikel ini masih banyak kekurangan sehingga dibutuhkan kritik dan saran yang konstruktif dari berbagai kalangan demi perbaikan dan sekaligus memperbesar manfaat tulisan ini sebagai sebuah referensi. 
Akhirnya, Semoga artikel yang telah saya susun dapat bermanfaat dan berguna bagi semua kalangan.




















BAB I
PENDAHULUAN


A.LATAR BELAKANG
Hukum merupakan disiplin ilmu yang sudah sangat berkembang dewasa ini. Bahkan kebanyakan penelitian sekarang di Indonesia dilakukan dengan metode penelitian yang berkaitan dengan sosiologi hukum. 
Sosiologi Hukum merupakan salah satu domain dari ilmu sosial yang menggabungkan dua pendekatan dalam setiap aplikasinya, yaitu dengan mempergunakan pendekatan hukum dan pendekatan sosiologi. Ada hal yang bisa kita simpulkan bersama sebagai ranah untuk kedua disiplin tersebut yaitu; 1) masyarakat, 2) lembaga, 3) interaksi. Mengkonseptualisasikan Sosiologi Hukum yaitu menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya, juga termasuk didalamnya pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya dan berbagai gejala hukum yang tampak dari kehidupan masyarakat. 
Mempelajari Sosiologi Hukum tidak sekedar mengartikan atau pula mendefenisikan 
namun terlebih lagi kita juga harus mamahami kebermanfaatan yang salah satunya 
memetakan dampak maupun konsekuensi yang terjadi akibat penerapan hukum dalam 
masyarakat juga memilah-milah objektifitasi dari Sosiologi Hukum yaitu hukum dan 
masyarakat

B.RUMUSAN MASALAH

1. Uraiakan jawaban anda berdasarkan perubahan sosial yang terjadi saat ini dikaitkan terhadap perubahan hukum. 
2. Apa sebenarnya fungsi hukum dalam dinamika masyarakat.
3. Sebutkan dan cari referensi atau daftar pustaka melalui buku, jurnal atau internet pada tulisan artikel yang anda buat.






BAB II
PEMBAHASAN


Kecenderungan meningkatnya kualitas maupun kuantitas pelanggaran baik terhadap ketertiban umum maupun pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang dilakukan oleh pelaku-pelaku usia muda, atau dengan perkataan lain meningkatnya kenakalan remaja yang mengarah kepada tindakan kriminal mendorong kita untuk lebih banyak memberi perhatian akan penanggulangan serta penanganannya, khususnya di bidang hukum pidana (anak), beserta hukum acaranya. Hal ini erat hubungannya dengan perlakuan khusus terhadap pelaku tindak pidana anak-anak.
 Permasalahan pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari masalah pembangunan. Oleh sebab itu sebagian masalah pembinaan terhadap generasi muda khususnya anak-anak perlu mendapat perhatian dan  pembahasan tersendiri Dalam proses perkembangan tidak jarang timbul peristiwa yang menyebabkan anak dalam keadaan terlantar maupun terjadinya perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak dibawah umur berupa ancaman atau pelanggaran terhadap ketertiban umum dalam masyarakat, bahkan terdapat kecenderungan adanya  penyalahgunaan anak bagi kepentingan tertentu yang justru dilakukan oleh para orang tua atau pembinanya. Oleh sebab itu anak nakal dan anak terlantar perlu diselesaikan melalui suatu  badan yaitu lembaga peradilan khusus agar terdapat jaminan bahwa penyelesaian tersebut dilakukan benar-benar untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan dan kepentingan masyarakat tanpa mengabaikan terlaksananya hukum. Oleh karenanya sudah menjadi kewajiban pemerintah dalam memperhatikan kemajuan serta kesempurnaannya. 

PERUBAHAN HUKUM DALAM KASUS BULLYING
Bullying termasuk dalam bentuk kekerasan terhadap anak. Mengingat bullying merupakan tindakan kekerasan terhadap anak, maka menurut UU Perlindungan anak, bullying adalah tindak pidana. Di sisi lain, UU Perlindungan Anak juga memiliki aspek perdata yaitu diberikannya hak kepada anak korban kekerasan (bullying) untuk menuntut ganti rugi materil/immateril terhadap pelaku kekerasan.
Pengertian dan Bentuk-bentuk Bullying
Secara umum, istilah bullying identik dengan tindakan kekerasan terhadap anak yang terjadi di sekolah. Dalam konteks bullying di sekolah, Riausika, Djuwita, dan Soesetio dalam jurnal “Gencet Gencetan” di Mata Siswa/Siswi Kelas 1 SMA : Naskah Kognitif tentang Arti Skenario, dan Dampak“Gencet-Gencetan” mendefinisikan bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seseorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.[1]

Adapun bentuk-bentuk bullying di sekolah menurut Yayasan Sejiwa, dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu:[2]
a.  Bullying fisik, meliputi tindakan: menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, serta menghukum dengan berlari keliling lapangan atau push up.
b.  Bullying verbal, terdeteksi karena tertangkap oleh indera pendengaran, seperti memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan di depan umum, menuduh, menyebar gosip dan menyebar fitnah. 
c.  Bullying mental atau psikologis, merupakan jenis bullyingpaling berbahaya karena bullying bentuk ini langsung menyerang mental atau psikologis korban, tidak tertangkap mata atau pendengaran, seperti memandang sinis, meneror lewat pesan atau sms, mempermalukan, dan mencibir.
Menurut Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”)kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Mengingat bullying merupakan tindakan kekerasan terhadap anak, maka menurut UU Perlindungan anak, bullying adalah tindak pidanaTerhadap pelaku bullying dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.[3]

Pasal 54 UU 35/2014 juga mengatur bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan dari tindak kekerasan di sekolah, sebagai berikut: 

(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnyayang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.

Di sisi lain, UU Perlindungan Anak juga memiliki aspek perdata yaitu diberikannya hak kepada anak korban kekerasan (bullying) untuk menuntut ganti rugi materil/immateril terhadap pelaku kekerasan.[4] Hal ini diatur dalam Pasal 71D ayat (1) Jo Pasal 59 ayat (2) huruf i UU 35/2014 sebagai berikut:


Pasal 71D ayat (1) UU 35/2014:
Setiap Anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.


Hal ini juga perlu mendapatkan atensi untuk segi penganiayaan sebagaimana diatur pada pasal 351 KUHP
1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500-,
2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun  (KUHP 90)
3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, maka dia dihukum penjara selama-lamanyatujuh tahun. (KUHP 338)
4) Dengan penmganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum (KUHP. 37,53, 184 s, 353 s, 356, 487)

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindakan Penindasan atau Bullying

Terdapat beberapa faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya tindakan penindasan atau bullying yaitu faktor lingkungan, faktor keluarga, faktor ekonomi dan faktor sosial dan faktor internal yaitu mudahnya mendapatkanemosi dan gangguan psikologis.
Faktor  penghambat  penegakan hukum  secara  umum  dapat  dilihat dari beberapa faktor, menurut Soerjono Soekanto ada 5 faktor penghambat penegakan hukum diantaranya yaitu : 
1. Faktor  Hukum  yaitu  peraturan dan undang-undang
2. Faktor Penegak Hukum yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hokum
3. Faktor    Sarana    dan    Fasilitas Mendukung Penegakan Hukum 
4. Faktor     Masyarakat     adalah lingkungan dimana hukum itu di terapkan dan diberlakukan 5. Faktor Kebudayaan yakni setiap hasil karya, cipta, dan rasa yang tercipta       dalam       pergaulan di masyarakat.
Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undangundang disebabkan karena tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang belum adanya peraturan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang.

BAB III
PENUTUP
Dari artikel diatas dapat saya simpulkan bahwa kasus bullying di dalam masyarakat sekarang dapat diepengaruhi oleh banyak factor yaitu lingkungan sekitar dan pergaulan di dalam masyarakat
Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindakan Penindasan atau Bullying di Sekolah Dasar  sudah berjalan dengan baik. Walaupun penindasan atau bullying sendiri belum diatur dengan undang-undang khusus, namun aparat penegak hukum menggunakan pasal pokok lain yang mengacu pada atau berkaitan pada penindasan atau bullying. Tindakan yang termasuk kedalam penindasan atau bullying yang sudah diatur dalam Undang-Undang  Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan dalam  KUHP yang mengatur tentang pemerasaan dan pengancaman, membuka rahasia, penghinaan dan penganiyaan dan bila diselesaikan dengan jalur hukum diatur dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan akan d di jatuhi  ½ (setengah)  dari hukuman yang berlaku untuk orang dewasa. Untuk kasus penindasan atau bullying masih tergolong wajar seperti menghina, mengejek, mencaci tidak perlu di selesaikan menurut jalur hukum. Pihak
Untuk itu disini peran orang tua dan sekolah sangat berpengaruh terhadap pola pikir anak yang bisa saja menjerumuskan mereka dalam perilaku yang sewajarnya tidak di lakukan dalam  pergaulan mereka, ajarkan anak untuk selalu  menghorm,ati orang yang lebih tua dan pergaulan yang sesuai dengan umurnya, jangan biarkan mereka untuk menonton film bioskop yang tidak sesuai dengan umur mereka, itu semua bisa menyebabkan terjadinya motif kejahatan, 
Pantau setiap adanya perubahan tingkah laku anak, bisa jadi anak tersebut tidak beranti untuk m engutarakan apa yang mereka alami, pahami apa yang mereka butuhkan dan buatlah lingkungan masyarakan yang dinamis karena fungsi hokum disini adalah bukan untuk menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar melainkan untuk menjaga perilaku manusia dalam kehidupan social untuk menjadikan masyarakat di lingkungan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) oleh: R. SOESILO 

artikel oleh MELISTA AULIA NURDINA (PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAKAN PENINDASAN ATAU BULLYING DI SEKOLAH DASAR)